Monday, October 27, 2014

(?)

Suka bingung sendiri sebelum nulis sesuatu di blog. Bingung, apa tulisannya terlalu personal, atau nggak.

Kawan

//Pada Kawan yang jauh dari sawang//

Titipkan salamku pada kawan
Yang menunggu di persimpangan jalan
Selagi hujan menghampirinya
Suguhkan segelas rindu pekat

Celetuk sepat hati membaur bersama titik-titik lara yang baru saja nampak
Namun enggan berpindah letak

Bersama ini tiap detik mencetus sengsara
Mata ini tertuju pada setiap arah
Menelusuri ruang kalbu
Tangan ini tak sempat mengenal jemu
Coba tutupi borok
Dari percik nestapa

Sekali lagi kutitipkan pesan
Pada cakrawala berawan
Pada lautan berombak
Agar kelak
Kawan kembali
Singgah pada tasik hati

Selasa, 16 September 2014

...

Di tasikmu, Sayang
Biarkan aku bersauh sejenak
Di tasikmu, Sayang
Bersama sang Candra
Meski hanya merasa, aku tiada sesal
Biar saja Tuan Ironi
Menampik sukma, mencabik hati

(aku lupa mencatat tanggal dibuatnya puisi singkat ini)

Friday, October 17, 2014

/AKAR/

ditulis pada suatu malam-tengah malam-
dalam klimaks, jatuh cinta pada kekontemporeran tradisi lewat lagu.

Akar.
Tentu boleh untuk sesekali mengucapkan selamat tinggal pada kewajiban, meski urusan kita belum selesai, kan?
Pada akhirnya aku bertemu lagi dengan rasa. Rindu senja.
Sebab musabab aku tinggalkan kewajiban. Lalu terdiam, lama. Terpaku. Tertarik masuk ke dalam AKAR. Yang menyuntikkan masa lalu.
Suatu tempo ketika manusia masih ber-ramah-tamah dengan kerabatnya.
Suatu kala, ketika putra-putri pertiwi masih tahu menahu akan ibundanya.
Betapa pun gemanya berputar, aku masih tidak dapat beranjak. Bolehkah aku meninggalkan kewajibanku lebih lama lagi?
Sebab:
aku,
masih merindu pada kala itu.

Jumat, 17 Oktober 2014
The Trees and The Wild - Our Roots

Saturday, October 11, 2014

Pada Tanah Lecak, di Suatu Kala

Aku masih ingat sapaan cengkerik kala itu. Cengkerik yang berkawan. Mereka bersahut-sahutan. Di antara tanah yang baru saja diguyur hujan dan rerimbunan pohon, aku terdiam. Sejenak. Mengumpulkan segenap harap dan asa penyemangat, biar kugapai suatu ranting di pucuk pohon. Biar kupijakkan kaki, di atas berakhirnya medan perang.
Kuibaratkan saat ini aku sedang berpijak kembali di titik penentuan itu. Mungkin, aku sudah berjalan cukup jauh. Betapa pun, tanah lecak menahan-lalu menggoyahkan pijak kuat kakiku, hingga aku terperosok. Turun.
Kali ini, akukah yang menjadi penentu pijakan terakhir? Pohon kah? Tanah kah? Bukankah pohon yang seharusnya muncul sendiri sebelum kuharapkan, untuk menjadi penyangga? Bukankah tanah seharusnya segera meminta matahari untuk menguapkan air tanpa perlu kuminta? Ataukah aku yang terlalu banyak menyalahkan mereka?
Kurasa pikiranku kini berubah menjadi benang. Bukan.. Bukan benang yang lurus. Ini benang yang kusut. Maka, datang dan bantulah aku tuk pungkaskan kusut ini.

Tuesday, October 7, 2014

Rindu Senja

Aku rindu bertapak
Di temaram tepian jalan
Dengan tabuhan gendang tak bersajak
Serta bulan dan surya sepadan

Aku rindu terlena
Oleh suling dan petik dawai
Terbuai dalam embus angin tua
Dikawal oleh temali harmoni

Aku tadahkan tangan
Ia beradu dengan rinai hujan
Bersama bisik rintik bersapa
Dan akhirnya menjadi penawar nestapa

Selasa, 7 Oktober 2014