Saturday, October 11, 2014

Pada Tanah Lecak, di Suatu Kala

Aku masih ingat sapaan cengkerik kala itu. Cengkerik yang berkawan. Mereka bersahut-sahutan. Di antara tanah yang baru saja diguyur hujan dan rerimbunan pohon, aku terdiam. Sejenak. Mengumpulkan segenap harap dan asa penyemangat, biar kugapai suatu ranting di pucuk pohon. Biar kupijakkan kaki, di atas berakhirnya medan perang.
Kuibaratkan saat ini aku sedang berpijak kembali di titik penentuan itu. Mungkin, aku sudah berjalan cukup jauh. Betapa pun, tanah lecak menahan-lalu menggoyahkan pijak kuat kakiku, hingga aku terperosok. Turun.
Kali ini, akukah yang menjadi penentu pijakan terakhir? Pohon kah? Tanah kah? Bukankah pohon yang seharusnya muncul sendiri sebelum kuharapkan, untuk menjadi penyangga? Bukankah tanah seharusnya segera meminta matahari untuk menguapkan air tanpa perlu kuminta? Ataukah aku yang terlalu banyak menyalahkan mereka?
Kurasa pikiranku kini berubah menjadi benang. Bukan.. Bukan benang yang lurus. Ini benang yang kusut. Maka, datang dan bantulah aku tuk pungkaskan kusut ini.

No comments:

Post a Comment