LALU

Lalu bising menyergap
Yang berpusat pada suatu ketenangan

...

Lalu berputar
Menyusup ke dalam tiap detik
Penuh

Sebuah keutuhan
Mungkin hanya pada permukaan
Bisakah sederhana di dalamnya?
Atau malah pada dunia yang jauh,
Jauh dari jangkauan mata

Entah

Minggu, 7 Desember 2014

-

how I wish I have this ukulele:

source:http://galleryhip.com/ukulele-sharpie-designs.html

Perfection.

Re-Eargasm

Oh, how sweet and delicate her sound is.

Yes. This is 04:18 in the morning and yes I am listening to Zee Avi on Youtube.

Swell Window

Like a swell window
I will wait for you,
We'll ride the moment 'til I catch you again.
'Til I catch you again.
Ooh

I met with a young man
Who has an ocean romance
And he calls it the way of life.
He tells me how he feels when he's alone
With the raging sound of calm.
The raging sound of calm.

Fully untainted sacred place...

Like a swell window
I will wait for you,
We'll ride the moment 'til I catch you again.
'Til I catch you again.

Like a swell window
I will wait for you,
We'll ride the moment 'til I catch you again.
'Til I catch you again.
Ooh

Little doses count
This time will come around.
We're all riding the same waves.
We're all riding the same waves.

Soon we'll all be face to face.

Like a swell window
I will wait for you,
We'll ride the moment 'til I catch you again.
'Til I catch you again.

Like a swell window
I will wait for you,
We'll ride the moment 'til I catch you again.
'Til I catch you again.

And then those heartbeats and the sound of the shore at the end... GOSH!

You guys should probably ask our dearly Mr. Google what does "Swell Window mean so you can tell how creative Zee Avi is.

Now

.
.
RE-EARGASM

Rembulan (Dahulu) Emas

Dalam hening senyap malam
Benang ingatan yang tersulam
Berangkat dari susah sesal
Insan dan hatinya bebal
Mendamba bulan dengan emasnya semburat
Malah diraihnya rembulan pucat

Rembulan kini berkawan awan
Bersembunyi pada mendung
Lambat laun aku lawan
Dan seiring kita bertarung
Kuurungkan niat berkawan
Maka baiklah kita berjauhan

Senin, 3 November 2014

(?)

Suka bingung sendiri sebelum nulis sesuatu di blog. Bingung, apa tulisannya terlalu personal, atau nggak.

Kawan

//Pada Kawan yang jauh dari sawang//

Titipkan salamku pada kawan

Yang menunggu di persimpangan jalan

Selagi hujan menghampirinya

Suguhkan segelas rindu pekat

Celetuk sepat hati membaur bersama titik-titik lara yang baru saja nampak

Namun enggan berpindah letak

Bersama ini tiap detik mencetus sengsara

Mata ini tertuju pada setiap arah

Menelusuri ruang kalbu

Tangan ini tak sempat mengenal jemu

Coba tutupi borok

Dari percik nestapa

Sekali lagi kutitipkan pesan

Pada cakrawala berawan

Pada lautan berombak

Agar kelak

Kawan kembali

Singgah pada tasik hati

Selasa, 16 September 2014

...

Di tasikmu, Sayang
Biarkan aku bersauh sejenak
Di tasikmu, Sayang
Bersama sang Candra
Meski hanya merasa, aku tiada sesal
Biar saja Tuan Ironi
Menampik sukma, mencabik hati

(aku lupa mencatat tanggal dibuatnya puisi singkat ini)

/AKAR/

ditulis pada suatu malam-tengah malam-
dalam klimaks, jatuh cinta pada kekontemporeran tradisi lewat lagu.

Akar.
Tentu boleh untuk sesekali mengucapkan selamat tinggal pada kewajiban, meski urusan kita belum selesai, kan?
Pada akhirnya aku bertemu lagi dengan rasa. Rindu senja.
Sebab musabab aku tinggalkan kewajiban. Lalu terdiam, lama. Terpaku. Tertarik masuk ke dalam AKAR. Yang menyuntikkan masa lalu.
Suatu tempo ketika manusia masih ber-ramah-tamah dengan kerabatnya.
Suatu kala, ketika putra-putri pertiwi masih tahu menahu akan ibundanya.
Betapa pun gemanya berputar, aku masih tidak dapat beranjak. Bolehkah aku meninggalkan kewajibanku lebih lama lagi?
Sebab:
aku,
masih merindu pada kala itu.

Jumat, 17 Oktober 2014
The Trees and The Wild - Our Roots

Pada Tanah Lecak, di Suatu Kala

Aku masih ingat sapaan cengkerik kala itu. Cengkerik yang berkawan. Mereka bersahut-sahutan. Di antara tanah yang baru saja diguyur hujan dan rerimbunan pohon, aku terdiam. Sejenak. Mengumpulkan segenap harap dan asa penyemangat, biar kugapai suatu ranting di pucuk pohon. Biar kupijakkan kaki, di atas berakhirnya medan perang.
Kuibaratkan saat ini aku sedang berpijak kembali di titik penentuan itu. Mungkin, aku sudah berjalan cukup jauh. Betapa pun, tanah lecak menahan-lalu menggoyahkan pijak kuat kakiku, hingga aku terperosok. Turun.
Kali ini, akukah yang menjadi penentu pijakan terakhir? Pohon kah? Tanah kah? Bukankah pohon yang seharusnya muncul sendiri sebelum kuharapkan, untuk menjadi penyangga? Bukankah tanah seharusnya segera meminta matahari untuk menguapkan air tanpa perlu kuminta? Ataukah aku yang terlalu banyak menyalahkan mereka?
Kurasa pikiranku kini berubah menjadi benang. Bukan.. Bukan benang yang lurus. Ini benang yang kusut. Maka, datang dan bantulah aku tuk pungkaskan kusut ini.

Rindu Senja

Aku rindu bertapak
Di temaram tepian jalan
Dengan tabuhan gendang tak bersajak
Serta bulan dan surya sepadan

Aku rindu terlena
Oleh suling dan petik dawai
Terbuai dalam embus angin tua
Dikawal oleh temali harmoni

Aku tadahkan tangan
Ia beradu dengan rinai hujan
Bersama bisik rintik bersapa
Dan akhirnya menjadi penawar nestapa

Selasa, 7 Oktober 2014

Seribu

Tentang seribu rasa ini
Hatinya terusik
Tenggelam dalam lautan perasaan
Menjadi emosi tiada teraba
Ia terjaga!
Salah siapa ini?
Dirinya menjadi begini

Tentang dua sejoli
Dua insan dalam romansa epik
Atau satu kah?!
Atau bukan lagi kah?!

Yang gadis berkata,
"Aku memang Srikandi,"
Lalu,
"Tuankah Sang Arjuna?"

Ini bukan kitab mahacinta
Tapi kisah bercacat-cela
Bukan juga dua, sayang
Hanya satu

Ini bukan romansa
Ironi menjadi raja
Realita menampik hati
Realita sungguh ironis

"Masa kita sudah lewat,"
Kata si Tuan.
"Aku bukan lagi Arjunamu"

Jumat, 21 Maret 2014

Jalan Keluar

Sembari menunggu senja terlelap
Singkirkan sunyi yang mendekap
Sejurus kata memaksa keluar
Namun tercekat serasa sukar

Hujan kembali datang
Memecah sunyi yang terlebih dahulu singgah
Meredam bisu menjadi bising
Walau tak sampai jadi puing

Senja terlelap
Ditemani awan gelap
Asa menipis
Nampak mencumbu miris

Lalu aku memohon
Biar dirimu yang menyapa sepi
Agar asaku kembali
Agar Tiga Kata tak lagi tertahan

Rabu, 3 September 2014

Pertama (intro)

Untuk semua hal, pasti ada kali pertama.
Maka, inilah post pertama gue, di blog ini.
Sebenernya gue punya beberapa blog. Ada yang sama temen, sendiri yang fashion, dan sendiri lainnya yang belom pernah ditulisin. Tapi, kalo tidak menunda (termasuk nunda untuk nulis), bukan Lydia namanya.
Nah, karena alasan sering nunda itu, gue memutuskan untuk buat satu lagi blog baru, dengan harapan: blog baru ini lebih organized jadi gue bisa lebih termotivasi buat ngupdate blog ini.
Sebagai teaser: blog ini kurang lebih bakalan berisi puisi-puisi, curhat penuh emosyong, dan apapun yang lagi pengen gue post.
Sekian intro dari blog ini.